Terbaru
Loading...

Kutukan Mahawu

Endo hendak masuk peraduan setelah seharian membakar siang dan menyisakan rona di ufuk barat. Di pelupuk, mata yang meninggalkan hari itu meyisip ke pelepah di rimbunnya pohon pinus sebelum sembunyi di antara dua Ksatria yang tinggi kekar dan besar. Gundukan bukit-bukit kecil membentengi lembah negeri Tantayangan, sebelah timur menghadap dan hormat pada puncak bukit-bukit yang megah, di utara gagah menghadang ombak pasifik, di barat lambayan nyiur menyambut hangat, dan di selatan sungai-sungai kehidupan mengalirkan kedamaian keseluruh negeri nan makmur.

Soputan tentu tidak akan ganas mengelurkan isi perutnya yang panas dan menghanguskan kalau di hadapannya, sang putri Mahawu, yang duduk terpekur, berpenyakitan karena dikutuk dewa, tidak menghianati cinta yang seharusnya menjadi miliknya. Di lingkar mata memandang, runut puncak-puncak gunung yang tegar berdiri, membentengi negeri tentram Tantayangan. Di beranda negeri, Mahawu duduk bersimpuh melagukan dendang endoon, dendang semak hati seorang putri sembari seruah nafas bernada erang menyisip di setiap kali akhir sebuah nada minor panjang yang menyayat. Mahawu bukanlah seorang dewi yang turun dari langit dan bertebaran harum bunga. Langkahnya menapak tanah dan senyumannyalah yang membuat bunga-bunga mekar dan harum pada tiap langkahnya. Sepertinya bunga tidak lagi perlu kumbang untuk sebuah kecupan panjang. Tapi Mahawu menantikan kumbangnya datang.

Di setiap bibir mimpi-mimpi malamnya, dia selalu mendapatkan kekasihnya berlari di tepi jurang keabadian melompat menggapai bulan impian. Apakah sebuah pertanda impian pada dewa-dewi akan sebuah keabadian? "Jangan paksakan aku menerima semua ini. aku bukanlah seperti bulan yang agung milik semua pemimpi dan para penyair." "Aku hanyalah milik Klabat, dewa malamku. Rengkuhan rapatnya lindungiku dari kutukan berabad-abad. Aliran sejuta hangat mengusir dinginnya keraguanku.

Apakah semua lelaki mampu memberi seperti ini? Aku tidak mendikte para dewa-dewi untuk suratan takdirku, tapi soputan memang bagian dari perjalanan hidupku, karena ia telah membayar lunas kodratku. Kencantikan telah menjadi petaka. Elok telah menjadi laknat. Tak lagi takdir yang menghantar maut, tapi senyum seorang putri meninggalkan racun maut di hati penikmat. Kendati senyum yang hampir tidak beda terdapat di lorong-lorong malam, di pintu gerbang kota, di rumah kaca, tebaran senyum malam berharga sepiring mie liar berserakan. Cinta yang digemari oleh hidung belang, lidah bercak darah, mulut yang kudisan lipstik, dan tenggorokan yang haus pemuas instant di warung-warung mie tengah malam.

Aku tersanjung untuk sebuah cinta yang dimiliki oleh Klabat. Tapi hidup hanya memiliki satu kematian. Dan hidupku adalah jebakan Soputan. Kematian soputan jadi milikku? Aku takut rondoren akan mengambilnya. sulit untuk menolaknya, karena rondoren telah lahir sebelum tangis pertamaku. semenjak tanah Tantayangan memberikan hidup pada jalur-jalur nafas yang percaya pada putaran matahari dan kesuburan yang melimpah dari dalamnya. Di negeri Tantayangan pula yang memberikan adat rondoren untuk semua cinta yang terbagi. Karena cinta tidak untuk dibagi, tapi untuk dimiliki.

Pemilik yang sah adalah pemenang dari pertarungan, sebuah aturan yang sebenarnya melawan arti cinta itu sendiri. Di mana ada cinta kalau harus ada yang terbunuh dan lagi-lagi wanita yang harus menjadi rebutan. "Oh sang Karema dewi... Mengapa harus kau beri aku kecantikanmu? Anugerahmu menjadi rebutan para tuama, keinginan buas dari kelamnya hati. Aku telah menawan mereka dalam arena pertarungan , algojo-algojo pembantai cinta, dan salah satunya harus mati demi aku,"keluh Mahawu dalam nada-nada dengung malam itu.

***

Dua ksatria itu kini berhadap-hadapan. Menggapai cinta yang seharga kematian. Cinta yang dilegendakan banyak orang, Romeo dan Juliet, Rama dan Shinta, dalam desing dewi Aprodithe dan anak jahilnya cupido, cinta bagai candu pemikat yang menjadi madu di sisi racun yang mematikan. Cinta yang sama kini diperebutkan dalam pertarungan adat rondoran. Kedua berhak memperlihatkan kekuatan untuk memenangkan hati sang Putri.
"Tuang telah menodai cintaku pada Mahawu,"tegur Soputan. "Cinta itu milik semua orang, dan Mahawu belum menjadi milikmu yang sah,"Klabat berkelit. Di puncak bukit-bukit negeri Tantayangan, kedua kemudian sepakat menaruh adat rondoren untuk masalah cinta mereka. Hukum leluhur penyelesaian konflik antara dua pemuda yang sedang berebut hati sang Gadis. Adalah Mahawu, gadis yang elok parasnya sejagad, kini menjadi pujaan hampir seluruh pemuda negeri, atas kecantikannya yang tiada tara. Tidak heran, Klabat tak takut akan tangan Soputan yang terkenal sakti, Ksatria penguasa alam sejagad umbanua. Kini kedua tengah coba menyelesaikan konflik cinta segi tiga, Mahawu, Klabat, Soputan. Bukan karena sang Klabat merasa diri gagah sebagai pangeran dari utara, penguasa angin dan laut pasifik. Tapi karena memang Mahawu, telah memberi pantulan berkas-berkas sinar cinta setiap pagi, ketika keduanya bertatap-tatapan, saat Mentari meyeruak di timur. Senyum Mahawu telah membulatkan tekad Klabat. Dan apa boleh buat, hati telah terpanah asmara. "Aku siap mati untuk mendapatkan cintamu. Klabat yang terus menerus berdiplomasi tak punya pilihan. Ksatria dari utara, pendiam, sabar, tapi penuh karisma meladeni Pangeran penguasa alam sejagad. Suaranya kencang menggelegar, meledak-ledak dan penuh murkah. Pertempuran sengit telah terjadi. Dunia gonjang ganjing, kilat menyambar kebumi, lalu gelap memehuni seluruh wilayah negeri Tantayangan. Klabat terkapar dijemput ajal.
***

Gontai dan terseok-seok, langkah Soputan memasuki kampung Teteian. Di pundaknya Klabat terbopong tak bernyawa. Maut telah mejemputnya. Di tengah-tengah kampung, Soputan meletakan tubuh Klabat yang kaku. Lalu dia berteriak lantang. "Hari ini Klabat telah menaruh adat rondoren terhadapku. Tapi akulah yang menang,"pekik ringkih sang pemenang.Awan telah menandai kemenangan Soputan, gerai berai arak-arakan awan mengantar kepergian Klabat, sekaligus meneguhkan kemenangan Soputan. Di hadapan para Patuusan, yakni tua-tua negeri, Soputan tertekuk lutut mohon pengampunan atas tangan murkah dan darah yang tertumpah. Kepala patuusan, Tonaas Wangko segera menumpahkan semangkuk air dari gunung Lolombulan, gunung dewa pengampun. Soputan berikrar mohon maaf atas kesalahannya. Air yang sama, oleh Patuusan, ditumpahkan pula ke mayat Klabat sambil si patuusan berucap doa sungkawa atas kematian Klabat. Semoga jiwanya tenang di alam orang mati. Malam itu juga Soputan bergegas ke tukang kayu, lalu membuatkan Balongsang, yakni sebuah rumah-rumahan yang pajangnya sekitar satu meter kemudian di tempatkan di paling hujung negeri, Tantayangan. Rumah-rumahan itu menjadi pintu bagi jiwa yang terperangkap di bumi, untuk menanti pintu alam orang mati terbuka.
***

Terdengarlah kabar di telinga Mahawu. Tambatan hati, telah menyusul maut karena adat rondoran yang dipilih kedua, Klabat dan Soputan yang menaruh cintah pada Putri Mahawu. Rondoran sudah secara temurun mengesahkan hubungan setiap pemuda yang saling menyuka. Sejengkal lagi dia milik Soputan. Tak ada cara lain kecuali ada laki-laki berikut yang ingin merebut hatinya. Kecantikannya sangat kesohor seantero negeri. Parasnya elok jelmaan dewi kayangan, rambutnya panjang berombak, dengan lesung pipit melekat di kedua belah pipinya yang bersih, tak disangsikan lagi, Mahawu adalah gadis yang nyaris sempurna. Hal ini sangat disadarinya.
Karena itu, terpikirlah olehnya bahwa sebagai penari Maengket, dia bisa menebarkan senyum maut kepada laki-laki yang mengamati setiap lekuk dan gemulai tariannya. Dan pada waktunya, ketika malam sudah memenuhi seluruh negeri Tantayangan. Angin malam pelan berbisik menyingahi setiap telinga rakyat, membisikan kegundahan hati seorang gadis maha cantik yang kini hampir saja menjadi milik Soputan. Kesohorlah nama Soputan, pangeran penjaga jagad raya yang kejam dan tak romantis. Perangainya yang meledak-ledak, tak sedikit darah manusia-manusia tak berdosa berkelimang dari tangannya.

Sekelompok pemuda yang sedang berpesta arak di sudut-sudut lorong negeri menjadi pemandangan khas, menceritakan nasib tragis sang Klabat yang diterjang adat rondoran oleh Soputan. Siapa yang berani melawan Soputan. Siapa yang berani melepaskan adat rondoran yang kini memenjarakan hati Sang Putri. Perbincangan yang mengecutkan hati itu nyaris tak ada bantahan, dan mafum Soputan pasti mempersunting dewi elok negeri sejagad. Asap yang keluar dari dapur-dapur rumah telah menebar semerbak wangi malam. Malam itu adalah pesta. Malam juga berarti maut. Putri di atas gelar panggung menjadi kapel yang memimpin sekelompok putri menarikan tarian syukur kepada Empung Wananatas, Tuhan segala penyebab, yang telah memberikan buah-buahan, padi, jagung, ubi jalar, segala umbi, rumput hijau untuk ternak, kacang merah, kacang tanah, dan semua jenis kacang-kacangan, kelapa, cengkih, pala, dan tanaman tahunan adalah nafas kehidupan negeri Tantayangan.
Tambor kini tertabuh gemuruh ke seluruh penjuru alam. Diantara riuh beduh tambur, suara indah lembut meyusup menempati ruang-ruang kosong hati yang haus keindahan.

Sigi wangko nai pelenge e wia se tua wokatuari e
Iyayo nai moma pelenge e sigi wangko kenu wia mo
Opo wana natase
Tembono me
Tembono me kai e
I mengaley
Kaii mengaleye
Kamang wangko
Unendo inania e
Naria e endo wangko tamoma pelenge e

Suara Putri memecah kesunyian malam menembus dinding-dinding kedukaan, menyampaikan pesan rakyat tantayangan kepada sang pencipta. Tuhan yang telah menumbuhkan padi. Lihatlah kami yang sedang menari menaruh syukur kepada Mu. Empung pemberi kehidupan, menumbuhkan tetumbuhan dan tanaman untuk melanjutkan hidup negeri kami. Terpujilah engkau tuhan atas segala dewa.  
Tarian pemujaan berakhir untuk selanjutnya tarian puja-puji, girang-girangan Lalu tarian burung camar, Si pisok, dipentaskan. Tangannya kini bagai sayap-sayap yang mengembang bebas dan liar di angkasa luas. Bebas dan merdeka, berayun, gemulai, menukik, lalu bangkit terbang setinggi-tingginya. Tambur tertabuh membahana penjuruh negeri. Mahawu bergerak lincah, merunduk , menitih, berputar. Matanya awas, tajam, lalu sayu menikmati gerak tari maengket. Lalu tiba tiba liar, penabuh semakin kencang menabuh, lenggok tubuhnya bagai hanyut dalam gelombang yang deras, berayun cepat, membangkitkan birahi. Gemuruh tambur telah menyulap tubuh sintalnya bagai samudra luas yang sedang ngamuk. Sontak tontonan menjadi seronok.
Soputan yang duduk paling depan bersama tetua negeri, kepala walak yakni pemimpin- suatu rukun warga, tonaas yang menjadi panutan, dan para wali yang disebut walian, kaget dibuatnya. Mahawu pasti sedang kesurupan, pikir mereka. Gerakan-demi gerakan, lekukan demi lekukan, dan goyang yang mengantar pada desah nafas satu-satu, tak lepas dari perhatian Lokon. Pangeran negeri Selatan yang pendiam, pula tak terkenal namanya.
Anak dari dewa arak, yang menyediakan arak untuk seisi negeri tantayangan, kini beradu pandang dengan sang Putri. Pesan putri, tampaknya telah ditangkap sempurna oleh Pangeran Lokon. Untuk benturan mata kedua kalinya, sang Putri makin menjadi, gerakan seronok telah berubah menjadi tarian maut pemikat. Yang segera disadari oleh khalayak. Lalu takutlah seluruh hadirin. "Korban berikut akan jatuh,"bisik suara-suara rinding menyisip di gaduhnya gemuruh tambur Opas.
"Aku telah menaru hati kepada Mahawu,"tegas Lokon, dalam hatinya yang seolah telah didengar oleh sang Putri. Sebelum berakhir, sang putri membawakan tarian lalayaan memungkas sebelum beranjak rumambak tari kegembiraan dan pesta pora atas semua berkat yang sudah diberikan oleh Empung Wananatas, sang pencipta sekalian alam, dengan lincah lalu mendekati Lokon, sambil membisikkan undangan maut.
"Perkosalah aku."
Malam hendak beranjak pagi. Soputan di penghujung negeri tertunduk penuh dendam. Dari kejauhan, Lokon mendekat untuk pertarungan babak kedua, penyisihan, perebutkan hati sang Putri. Prang ... prung... pring... prung. Pletoak, pletok, gubrakk... auhahg... Lokon terbaring kaku. Darahnya mengalir membasahi bumi yang masih berembun, terus tertumpah menyiangi sungai-sungai kedekilan hati, tanpa makna, untuk sebuah cinta yang tak persis jelas, Lokon pergi tanpa nama.

***

Lagi Mahawu hanya bisa tertunduk lesuh meratapi diri yang dibelungu takdir. Di gundukan tanah yang masih merah, aku masih melihat saat-saat akhir dirimu lenyap dari pandangan. Sebuah kematian yang seharusnya bukan milikmu. Karena seorang ksatria tidaklah pernah mati sekali, tapi berkali-kali. Hanya pengecut yang dinanti sang maut. Takdir tidaklah memberimu perhentian, takdir takkan beranti menghentikanmu. Seperti gagak hitam sang pembawa pesan maut, tak menampakkan dirinya saat pertarungan itu. Para dewa akan memberimu kehidupan lain, menemaniku sepanjang waktu bersama angin yang membawa pesanmu di sepanjang musim, pada riak air sungai, pada lambaian padi di sawah , pada puncak-puncak bukit yang menatap langit.

Dan bila langit akan tetap biru setelah badai, bila gunung akan tetap menjaga mata air-mata airnya dan matahari akan tetap setia memoles punggung-punggung telanjang petani, akupun akan setia menjaga cintaku, milik Soputan. Sampai waktunya tiba, ketika bumi akan terbelah dan Soputan muncul dari pertapaan yang berabad-abad. Soputan telah memberikan jiwanya, akupun akan meberi lebih dari hanya jiwaku. Karena takkan akan ada yang dapat menyuntingku, walau rondoren terjadi berkali-kali dan banyak jiwa hilang sia-sia, diantara kerakusan mereka sang petarung cinta.

Walau pertarungan hingga ketujuh yang selalu dimenangkan oleh Soputan, dan Mahawu membiarkan dirinya terkulai derita yang mernggut raganya. Sampailah suatu saatnya tiba, ketika Soputan berhasil membunuh si Manimporok, Rindengan, Tagui, Tampusu, Lumedon, Duasudara, hingga Lokon. Untuk pertarungan yang ketujuh kalinya, Mahawu merasa gentar. Sudah banyak jiwa yang hilang. Ia tahu bumi akan mengutuknya atas segala kematian itu. Namun bayang soputan terus berkelebat, menjaganya dari segala pesona pemuda-pemuda negeri Tantayangan. Apakah sudah tiba saatnya aku mengakhir pertarungan ini? Karena rondoren tak mungkin diingkari. Mungkin sudah jadi kutukan. Rantai-rantai kematian yang mencari perhentian di sebuah pasak kemenangan.

Mahawu, sekarat. Derita batin membuatnya terkulai tak berdaya, dia menapaki gundukan gundukan tanah. Menembus pekatnya malam, dan dinginnya udara tanah Toumuung, hingga mencapai kuntung in talun. Di tempat di mana ia bisa melihat semua para kesatria mawai yang runtuh demi mendapatkan cintanya.  Pagi itu Mahawu, putri tercantik sejagad tak bisa melihat si Endo yang pagi itu lamat, sayu dan ringkih. Mentari merajuk mengabarkan duka di jagad Malesung. Dan langitpun menagis, berhari-hari lamanya, membersihkan darah-darah yang mengotori tanah negeri Tantayangan. Karena takkan ada lagi jerit kesakitan di ujung ajal yang mengotori udara. Tak ada lagi tetesan-tetesan ludah atau mimpi-mimpi menyunting Mahawu, angan-angan menjelaja di setiap lekuk kemolekan tubuhnya yang terpancar dari pesona tarian mautnya.

Semua pemuda yang punya hasrat menjadi beku pada getar nafas yang menyesak dada yang dulu berguncang menatap langkah Mahawu. Karena Mahawu telah menemui kodradnya. Menginginkannya juga akan menjadi sebuah kutukan. Akan tertanam bertahun-tahun menjadi lajang-lajang lapuk. Soputan kemudian mati dalam kesendirian ribuan tahun, yang penuh kemarahan dan kebencian. Kutukan yang terus menjadi hantu gentayangan di negeri Tantayangan yang melegenda di tanah yang kini disebut Minahasa. (Tulisan Veldy Umbas/ Editor Alfa Leo)


Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :

Post a Comment