Kompleksitas Minahasa barangkali telah mencapai titik nadir dalam situasi ekonomi, politik, social dan budaya. Baik Minahasa sebagai rakyat, kumpulan rakyat dalam sebuah territorial Minahasa, maupun Minahasa dalam pengertian komunitas kultural yang memiliki ingatan-ingatan masa lampau (memori laten) sebagai sebuah komunitas berbudaya dengan nilai-nilai imanen seperti yang dimaksudkan oleh Kant, yang tumbuh dalam pribadi Tou Minahasa.
Telusur sejarah jelas meninggalkan artefak relasi Negara (pusat kekuasaan) dan Minahasa (social entity) sebagai subsistem yang mengalami pergolakan sejak periode kolonial, periode integrasi dengan Indonesia (orde baru & orde lama), hingga sekarang di era reformasi. Sebagai suatu bangsa, keinginan kita semua agar proses integrasi itu dapat berjalan dengan baik. Dengan tujuan yang standar dan sederhana atau dalam bahasa NGO disebut, civil minimum, ekonomi berjalan lancar, pembangunan meningkat, hukum ditegakkan, rakyat sejahtera, serta mendapat peran yang adil dan merata untuk berpartisipasi di republik.
Minahasa Mengindonesia
Dan hal ini sudah di coba. Selama 64 tahun berindonesia, sebagai sebuah biduk besar, barangkali penyelenggaraan negara belumlah optimal, bahkan dapat dikatakan jauh panggang dari api. Mismanagement Indonesia juga berakibat buruk pada Minahasa. Menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional Maret 2006, angka kemiskinan mencapai 17,75 persen dan angka pengangguran 10,4 persen. Atau berkisar pada angka 40 juta orang, dengan standar penghasilan di bawah 10ribu rupiah saja perhari. Artinya kalau standar pendapatan 25 ribu per hari menurut Sutradara Ginting, maka angka kemiskinan kita naik hingga 100 juta jiwa.
Belum lagi persoalan gizi buruk, busung lapar, dan berbagai penyakit yang mestinya sudah punah masih bergentayangan di Indonesia. Kondisi ini harus ditambah lagi dengan hutang luar negeri yang makin fantastis. Berdasarkan data di Bank Indonesia, posisi utang luar negeri pada Maret 2006 tercatat US$ 134 miliar, pada Juni 2006 tercatat US$ 129 miliar dan Desember 2006 tercatat US$ 125,25 miliar. Sedangkan untuk utang swasta tercatat meningkat dari US$ 50,05 miliar pada September 2006 menjadi US$ 511 miliar pada Desember 2006. Memasuki pertengahan semester kedua tahun 2008 utang luar negeri Indonesia meningkat US$ 2,335 miliar. Cicilan yang harus dibayar tahun 2009 sebesar US$22 milyar, artinya tahun 2009 Negera kita harus mengeluarkan Rp 250 triliun. Terdiri dari, utang pemerintah US$ 9 miliar dan utang luar negeri (LN) swasta US$ 13 miliar. Di antara utang pemerintah itu, uang LN yang jatuh tempo pada 2009 senilai Rp 59 triliun. Sedangkan cadangan devisa kita hanya $50miliar. (Kompas, Senin 24 November 2008). Jumlah utang luar negeri pemerintah hingga 31 Januari 2009 mencapai US$ 65,73 miliar. Dari total utang itu, paling banyak jatuh tempo pada 2009. Angkanya mencapai US$ 6,7 miliar. Data (dikutip dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, Senin 16 Maret 2009) menyebutkan, utang luar negeri ini baru bisa dilunasi pada tahun 2040. Sampai 2024, pemerintah masih harus membayar utang yang jatuh tempo di atas US$ 1 miliar, dengan jumlah paling banyak di tahun 2009. Sedangkan di atas 2024, jumlah utang yang dibayarkan rata-rata di bawah US$ 1 miliar.(Vivanews, 16/3, 2009).
Sementara di ranah politik, geliat perebutan kekuasaan masih kurang memberikan prospek demokrasi yang baik, meski secara formal, demokrasi kita nampak ideal, tetapi tidak di tingkat kedewasaan politik serta kejernihan elit politik untuk membangun bangsa. Ini masih ditambah bonus konflik ideologi, dengan dihadirkan produk undang-undang yang bernuansa agama.
Dari asumsi makro ekonomi Indonesia maka dapat dipastikan biduk Republik akan berjalan cukup lambat serta relative menjadi bangsa terkebelakang. Hal ini sangat kontras dengan kenyataan bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam yang sangat kaya. Deposit sumber daya mineral kita mencapai milyaran triliun yang bila bisa dihemat bisa untuk membiayai paling tidak 100 tahun kedepan. Di Minahasa sekali lagi sebagai konsekwensi berNKRI, tanah Minahasa selama masa orde baru telah menyumbang paling tidak ratusan triliun rupiah (terdiri dari tambang emas plus 2 juta pohon kelapa, 1,5 juta pohon cengkih, dan jutaan tananam vanili). Belum lagi sumber daya laut seperti ikan dsb.) untuk mendanai pembangunan nasional mulai REPELITA hingga ke jaman RPJM. Belum lagi dengan pemasukan non komoditi seperti pariwisata.
Setelah lebih 60 tahun berindonesia itulah, kita coba lihat lagi kondisi social masyrakat kita. Ada sejumlah persoalan seperti, kemiskinan, pengangguran, masalah kebodohan, dan yang paling parah yakni kehilangan kesadaran kolektif sebagai masyarakat yang mulai menjadi ahistoris dan amnesia social. Makanya, cukup dimengerti kenapa orang-orang seperti dokter Supit dkk, terenyuh dengan situasi ini. (Ini cukup masuk diakal mengingat dedikasi dokter untuk tanah Minahasa yang cukup tinggi). Lepas dari kritik kita terhadap Dr. Bert A. Supit (BAS) yang kadang beromantisme dan utopis untuk Minahasa. Sehingga menjadi pentinglah kita renungkan beberapa realitas yang barangkali sulit dipahami ketika membericarakan tentang Minahasa.
Realitas pertama, adalah eksistensi Minahasa itu sendiri. Yakni, Minahasa sebagai sebuah komunitas social yang dulu pernah ada, yakni sebuah komunitas dengan syarat-syarat sosiologis seperti yang dimaksud Comte dan Spencer. Yang lalu menjadi sebuah perceived community. Syarat itu pasti ada, dan kerena itu dapat dimengerti kalau kita menyebutnya sebagai bangsa Minahasa (David Henley;1996).
Kondisi ini mestinya mengakibatkan munculnya sebuah kesadaran sebagai suatu perceived community, atau suatu perasaan bahwa mereka (baca: kita) merupakan suatu komunitas yang utuh sebagai turun temurun dari Toar Lumimuut (AB. Lapian;2008)
Kedua, realitas Indonesia sebagai bangsa besar tempat di mana bangsa Minahasa bernaung, dengan segala kompleksitasnya, nampak ambiqu dalam menata struktur sosial yang kerap diwarnai oleh diskriminasi sosial, agama, dan kewarganegaraan. Salah satu anomaly sosial yang nampak sulit dipungkiri (kalau tak mau diakui) adalah kesepakatan diam tentang warga negara berkelas, Islam dan Jawa. Dan untuk itu, jangan pernah mimpi seorang Kristen, non Jawa, apalagi Minahasa plus catatan merahnya sebagai pemberontak (menurut mereka), akan bisa menduduki posisi strategis di Republik ini. Ada contoh yang tidak terlalu relevan tapi menarik berdasarkan pengakuan Letjen (purn) Johny Lumintang bahwa dirinya dicopot sebagai Pangkostrad karena “mistake” dari Habibie yang segera mencopotnya karena desakan kuat “TNI hijau” untuk tidak menempatkan jabatan-jabatan strategis termasuk Pangkostrad kepada seorang Kristen yang taat seperti Lumintang.( http://www.mail-archive.com/siarlist@minipostgresql.org/msg02453.html). Munkin karena alasan itu pula beberapa orang seperti Theo Sambuaga yang dulu ketika menjadi menteri konon sempat masuk Islam, sama seperti Angelina Sondakh yang kini benar-benar menjadi Islam.
Ketiga, adalah realitas politik setelah reformasi, paling tidak terjadi penambahan daerah-daerah otonomi baru, termasuk Propinsi-propinsi baru di Indonesia secara keseluruhan telah mencapai 33 Propinsi. Di antaranya, Sulawesi Barat, Papua Barat, Maluku Utara, dan masih banyak lagi. Suka tidak suka, penambahan daerah otonomi baru, rakyat setempat ketiban durian runtuh. Paling tidak, APBD satu Propinsi yang bisa mencapai 1 Milyar Rupiah (APBD SULUT 2009) akan lebih berasa bila dibagi ke wilayah yang lebih kecil. Dalam teori pembagian “kue”, semakin sedikit orang berebut kue yang sama maka akan semakin besar porsi kue yang diperoleh setiap orang. Lepas dari polemik pelaksanaan otonomi dan UU Pemda yang masih perlu direvisi, kenyataan pembentukan/pemekaran daerah baru dalam konteks Indonesia sedikit meringankan masalah rakyat daerah walaupun disatu sisi memberatkan pemerintah pusat. Lihat geliat ekonomi yang ditunjukkan oleh daerah pemekaran baru seperti Propinsi Gorontalo, Sulbar, Papua, dsb. Paling tidak insentif DAU dan DAK menjadi candu yang sedikit mengobati sakit ekonomi masyarakat daerah.
Strategi Ekonomi Politik
Dari semua kondisi objekti tersebut adalah bijak bila kita semua sebagai bangsa besar Indonesia mulai memikirkan solusi alternative untuk mengurai benang kusut Indonesia. Satu dari sekian solusi seperti strategi budaya dan ekonomi adalah politik. Selama ini orientasi politik kita “kiblat”nya ke Jakarta. Apalagi dalam konteks globalisasi yang makin borderless, ketergantungan kepada Jakarta, akan membuat perkembangan pembangunan nasional berjalan bagaikan bebek yang hobinya ngekor. Bayangkan kalau ekspor kopra, cengkih, vanili, cap tikus, palawija bahkan hortikultura kita tanpa birokrasi Jakarta, maka akan menghemat dana untuk nanti membantu Jakarta meringkankan beban DAU dan DAK yang dijatah ke daerah-daerah otonomi lain.
Maka, strategi politiknya adalah mendorong Minahasa menjadi otonomi penuh dalam bingkai NKRI. Jakarta dan Bank Sentral (BI) akan tetap menentukan kurs, suku bunga, dan multilateral agreement, tetapi daerah otonomi penuh akan mengurusi internasional trading. Bitung sebagai internasional port dapat didorong menjadi intenasional hub port bila perlu. Sementara, Minahasa sebagai daerah berotonomi penuh seperti juga Sangir Talaud dan Bolmong akan membangun alliance untuk menatap internasional mage trading. Cara ini akan lebih kompetitif dan kompatibel untuk menata kompleksitas neo kapitalisme dalam globalisasi. Minahasa dengan social capitalnya (Fukuyama;1997) akan bergandengan tangan dan menjadi lokomotif perubahan bersama-sama dengan daerah-daerah otonomi penuh dari Maluku dan Papua membentuk sebuah perserikatan dagang yang luar biasa maju yang nantinya bersama-sama dengan pemerintahan Jakarta menjadikan Indonesia sebagai kekuatan ekonomi Asia melalui pintu gerbang bibir pasifik.
Strategi Kebudayaan
Prasyarakat ekonomi dan politik sebagai sebuah bangunan infrastruktur tidak akan efektif bila tidak disertai dengan suprastrukturnya. Budaya sebagai kearifan local dapat dimodifikasi menjadi social capital. Seperti mapalus yang merangkum nilai-nilai (etos) kerja baik yang bernuansa sosialis (komunal) maupun yang bernuansa kapitalis. Sebut saja, azas resiprokal (gotong royong/Asia), responsible, kerja keras, disiplin (Jepang/Korea), efisiensi (Eropa/Amerika), dan beriman (Kristen) adalah nilai-nilai cultural Tou Minahasa yang cukup relevan dikembangkan. Maka, mapalus sebagai sebuah gagasan kerja yang berakar pada kultur orang Minahasa, sepertinya dapat mendamaikan kedua pertentangan besar mereka. Dengan gagasan sebagai berikut: Pertama, gagasan kepemilikan bersama dapat disesuaikan untuk ketentuan-ketentuan terhadap hal tertentu mungkin dapat dilakukan secara proporsional seperti modal bersama dalam sebuah unit usaha yang dapat dikerjakan bersama-sama. Hal ini sangat kompatibel dengan bentuk kooperasi yang berakar pada ekonomi Pancasila. Dalam mapalus, modal bersama ini adalah hal yang lazim dan justru menjadi syarat sebuah sistem kerja mapalus. Kedua, gagasan efisiensi dan profitable juga belaku dalam sebuah sistem kerja mapalus. Kerja keras dan displin adalah kunci keberhasilan dari kapitalisme adalah etos yang berlaku dalam sebuah sistem kerja mapalus.
Sementara untuk sistem pasar bebas, yang menjadi inti perdebatan dua gagasan ini dalam perpektif mapalus bahwa tujuan dari pasar itu sendiri adalah untuk terjadi pertukaran, menukar hasil produksi pertanian dan apapun sebagai hasil akhir dari sistem kerja mapalus yang tentu juga membutuhkan pasar. Artinya pasar tidak semata-mata pasar it’s self. Laissez faire Adam Smith tentu adalah hutan rimbah yang tidak perlu menjadi buas dan rakus menerkam musuh-musuh kapitalisme. Keynes tentu bisa sedikit mereduksi keliaran sistem pasar (free market mechanism) model Smith. Tetapi, orang Minahasa sebagaimana juga manusia purba umumnya telah mengenal pasar untuk persahabatan, pertukaran, dan peradaban untuk mencapai kesetaraan dan keadilan sosial.
Antara Ideologi dan Utopia
Apapun yang berjudul memperbaiki, membenahi dan apalagi merubah ke arah yang lebih baik adalah hal yang mutlak dan wajib dalam menjalankan kehidupan di muka bumi ini. Seperti ungkapan bahwa, tidak ada yang kekal di dunia ini kecuali perubahan. Change we need, kata Obama. Untuk itu, kita perlu sekali lagi menegaskan di mana posisi kita. Apakah kita termasuk orang yang apolitis, passivism, bahkan fatalistic. Atau kita adalah orang-orang yang berpikiran jauh kedepan, yang positif, yang menginginkan perubahan, betapapun itu harus dilakukan dengan cara yang sukar dan penuh tantangan. Tentu ada harga yang harus dibayar, ada resiko dalam semua keputusan, dan ada pengorbanan dalam setiap perjuangan.
Ada dua hal yang membedakan apakah Minahasa itu pantas menjadi ideologi (bukan Minahasalogi), atau utopianya Robert Owen yang dalam pandangan kaum neo liberal adalah muskil bin mustahil. Pertama, Minahasa masih sadar dan berpikir untuk berbenah diri mewujudkan Minahasa yang lebih baik. Kedua, Minahasa yang melempem, yang pragmatis, yang menunggu siang menjadi sore dan hilang ditelan malam. Saya lebih cenderung untuk menawarkan, Minahasa sebagai ideologi yakni cita-cita luhur untuk mewujudkan sebuah harapan yang reasonable, possible, dan compatible untuk rakyat Minahasa dalam Indonesia. Untuk cita-cita itu, Propinsi Minahasa adalah titik kordinat persilangan antara harapan, angan-angan dan kenyataan. Semoga.
Pakatuan Wo Pakalawiren. (Penulis Veldy Umbas/Editor Alfa Leo/Foto Sam M)
0 comments :
Post a Comment