Terbaru
Loading...

POLITIKUS dan SPARTACUS

Pernah dengar nama Spartacus, sosok gladiator yang lihai mencabut nyawa dalam pentas berdarah di Colloseum Roma? Atau mungkin anda pernah membaca kisahnya? Bagi para sejarahwan, nama Spartacus memang sudah tak asing lagi. Sosok pemberani itu merombak kemegahan kekaisaran Romawi yang bertabur dahaga kekuasaan dalam tameng-tameng politik. Jika menilik kehidupannya secara historis, sumber-sumber kuno setuju bahwa Spartacus adalah orang Thracia. Plutarch menggambarkan dia sebagai “Thracian yang nomaden” alias hidup berpindah-pindah tempat demi mencari makan. Senada dengan Plutarch, Appian mengatakan ia “adalah seorang Thracia yang pernah bertugas sebagai prajurit di Roma Namun setelah itu, ia menjadi tawanan dan dijual untuk ditahbiskan menjadi gladiator.

Istilah gladiator berasal dari kata Latin gladius, yang artinya pedang pendek yang disukai oleh banyak para kombatan (petarung) sebelum istilah gladiator menjadi top. Gladiator sendiri terdiri dari tawanan perang dan budak belian. Mereka dilatih untuk bertarung nyawa, demi memperoleh hak dan kebebasan. Tak hanya itu, nyawa mereka dibeli dan dijual demi sebuah perjudian para politikus. Suka atau tidak, seorang gladiator harus membunuh, di bawah sorak-sorai jutaan mata yang menonton. Ya…pertarungan gladiator zaman itu ibarat Home Box Office (HBO) terpopuler yang begitu menarik dan sangat mendidik. Pertarungan yang tak sedikit menelan korban jiwa itu berlangsung terus seakan-akan hal itu telah menjadi landasan ideologi. Tak ada gladiator yang berani menentang hal itu, hingga munculnya Spartacus.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Lewat strategi matang berkat pemikiran Spartacus yang brilian, kota itu akhirnya diserang para gladiator, rekan-rekan seperjuangannya. Peristiwa ‘holocaust’ ini terjadi pada Tahun 73 SM ketika para cendekiawan politik dan birokrat berleha-leha dalam pesta pora. Kemegahan Legiun Romawi dikalahkan, dan para politisi kotor dibantai habis, dalam hitungan menit saja. Tepuk riang dan sorak sorai di Colloseum berubah menjadi tangis melengking dan membahana menghiasi langit kota Roma yang megah itu. Semenjak munculnya Spartacus, kuburan Roma pun gemetar. Bahkan, kematian seakan melolong, meminta agar Spartacus menghentikan pembantaian itu. Tapi, hal itu tak diindahkan sosok yang pemberani ini. Pembantaian masih dilakukannya. Satu per satu politikus bejat dihabisi. Menariknya lagi, peristiwa itu bukan terjadi di Colloseum tapi di ‘gedung putih’ tempat dilangsungkannya perjudian dan negosiasi politik kotor para politikus. Sunguh tragis! Singkatnya, para budak berhasil meruntuhkan rezim ‘borjuis’ kaum politikrat, dan semua itu karena Spartacus yang nota bene adalah budak pula.

Sosok Spartacus telah menorehkan sejarah pahit masa kekaisaran Romawi. Walau dirinya tak dibesarkan dalam lingkungan pendidikan yang layak, pemikirannya patut diacungi jempol. Ia pun tak mengenal rasa takut, dalam memperjuangkan keadilan bagi kaum tertindas alias budak dan rakyat jelata. Meski bermandikan darah, semangatnya untuk memperjuangkan keadilan tak pernah surut. Itulah sebabnya, mengapa keberaniannya terus dikenang orang-orang Roma hingga sekarang.
Jika dibandingkan dengan sosok Spartacus, sosok seorang politikus tentu lebih berkualitas. Pasalnya, mereka yang berkecimpung di dunia politik (dari bahasa Yunani polis/politeia: rakyat) ini punya kualitas intelektual yang baik, wawasan yang luas dalam mengatur dan menentukan arah suatu Negara ke depan nanti. Tak hanya itu, mereka pun dibekali pertimbangan-pertimbangan moral dan etika yang sangat berguna dalam mencari solusi yang tepat ketika menghadapi suatu masalah. Tujuan yang dicapai tentu saja menyangkut kesejahteraan rakyat dan bukan kesejahteraan pribadi sang politikus semata.

Lantas, apa hubungannya antara Politikus dan Spartacus? Apakah ada yang harus dipelajari seorang politikus dari sosok Spartacus? Tentu saja ada! Idealnya, seorang politikus mestinya memiliki semangat Spartacus dalam arti memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat, apalagi kaum tertindas. Tapi, jika melihat situasi politik bangsa kita yang dalam tanda petik carut marut ini, rasanya politikus yang memiliki semangat Spartacus tak banyak, alias bisa dihitung dengan jari saja. Pasalnya, sudah bukan rahasia umum lagi banyak dari mereka hanya sibuk mengurusi kantong sendiri. Tujuan mulia yang harus diperjuangkannya bagi rakyat, justru dilupakan. Padahal, kedudukan yang diperolehnya berasal dari rakyat. Ironis! Tak hanya itu, perilaku berpolitik yang baik, yang paling tidak, sejalan dengan definisi politik itu sendiri pun semakin jarang dipraktekkan.

Sebagai contoh, tengok saja problem yang dialami Partai Demokrat akhir-akhir ini. Bukannya sibuk mengurusi rakyat, PD malah repot menanggapi aksi buka-buka bobrok, yang dilakukan mantan bendahara umum PD, Nazarudin. Ini menjadi hal yang tak patut dicontohi. Ya, kalau isu itu tidak benar, mengapa harus diseriusi? Tapi kalau PD bersikap ngotot seperti orang kebakaran jenggot, ini kan bisa menimbulkan kecurigaan. “Wah, jangan-jangan apa yang dikatakan Nazarudin itu ada benarnya”. Menariknya lagi, saking kewalahan membujuk Nazarudin pulang, saya sempat membaca sebuah berita yang dimuat salah satu Koran lokal di Sulut, bahwa Nazarudin hampir kena tembak. Serentak saya bertanya, Inikah wajah politik bangsa kita? Haruskah atau perlukah ada nyawa yang dikorbankan demi sebuah status politis? Hingga saat ini, kisah ini masih terbungkus misteri. Apakah nantinya happy ending atau sad ending. Partai Pemenang Pemilu (PPP) itu masih melakukan berbagai upaya demi membawa pulang Nazarudin, selebriti yang mendadak terkenal itu dari negeri antah berantahnya, guna menyelesaikan persoalan ini secepatnya.

Berkaca dari fakta di atas, banyak pengamat politik menilai apa yang disemprotkan Nazarudin memang lebih banyak benarnya ketimbang salahnya. Nazarudin dinilai tidak hanya menebar angin. Ada kebenaran dalam setiap seruannya. Dalam arti tertentu, Nazarudin bisa dikatakan memiliki semangat Spartacus, walau sikap yang ditunjukkannya tidak mencerminkan keberanian Spartacus. Saya tidak bermaksud mengajak Nazarudin menjiplak habis apa yang dibuat oleh Spartacus, terutama aksi pembantaian berdarah. Tapi yang saya maksudkan, Nazarudin seharusnya tidak bersikap sembunyi-sembunyi dalam mengungkapkan kebenaran.

Dampak dari situasi politik yang kurang gizi ini pun merambat sampai ke tatanan birokrasi. Sistim pemerintahan terkena imbas. Buktinya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dilempari isu macam-macam. Sudah begini, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) Marzuki Ali, bukannya mencari solusi malah melemparkan wacana baru yang kontroversi. KPK dibubarkan! Bener nih pak? Serius? Lantas, kalau KPK-nya dibubarkan, apakah anda bisa menjamin para koruptor bakal tak korupsi lagi? Anda sendiri menawarkan apa kalau KPK-nya dibubarkan? Maaf pak! Saya bukan ahli dalam berpolitik apalagi pemerintahan. Saya juga bukan pengamat politik yang punya jam terbang tinggi, alias yang telah malang melintang di dunia politik. Saya hanya anak kemarin sore yang prihatin atas situasi politik bangsa saya yang prematur ini. Jika saya bisa berpikir seperti ini, mestinya anda harus dua langkah di depan saya. Tapi, jika tidak, ini kan menggelikan!
Jika dicermati, wajah politik bangsa ini tak mengalami perubahan signifikan. Hanya metodenya saja yang berubah. Apalagi saat ini, politik pencitraan tengah marak dipraktekkan. Berkaitan dengan hal itu, coba kita tengok ke belakang. Sejarah usang sistim politik bangsa kita telah mencatat tak sedikit ‘spartacus’ ala Indonesia dicabut nyawanya. Salah satu contoh, kasus Munir yang hingga sekarang masih menyisakan misteri bak cerita-cerita detektif. Entah siapa aktor di belakang layar itu, belum terungkap. Kasusnya pun seakan hilang ditelan angin, berharap munculnya ‘spartacus’ baru yang bisa menguak tabir tersebut. Melihat hal ini, mestinya seorang politikuslah yang bergerak aktif dan bukannya menunggu munculnya Spartacus baru.Merekalah yang harusnya memiliki semangat Spartacus, karena tugas dan tanggung jawab mereka untuk mengusahakan kesejahteraan rakyat.

Ironisnya, bukannya berubah, malah justru tambah parah. Tak heran fenomena politik yang tak kunjung membaik ini semakin memperparah image masyarakat terhadap para politikus. Buktinya, hanya di Indonesia saja, lebih dari 30 anggota dewan ditangkap karena kasus korupsi. Entah apa yang mereka cari. Sudah begitu, banyak aspirasi warga dikorbankan, dan tak sedikit pula hak mereka untuk merasakan sedikit saja kesejahteraan hidup direnggut. Mungkinkah para politikus kita tengah merubah identitas mereka menjadi gladiator? Entahlah. saya harap tidak demikian. Situasi seperti ini tentu saja menimbulkan keprihatinan. Kapan semua ini bisa diminimalisir. Memang di satu sisi, saya sadar Romawi tak sebesar Indonesia. Otomatis, persoalan yang datang juga tak sedikit. Butuh waktu untuk menyelesaikan semua itu. Tapi, semua itu menjadi mungkin apabila para politikus kita memiliki semangat Spartacus yang dengan berani memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan. Dari peristiwa ini para politikus harusnya berefleksi, status serta jabatan politis yang dimiliki bukanlah jaminan utama, kursi mereka bakal tidak digoyang lagi. Jika situasi ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin, spartacus-spartacus baru Indonesia akan muncul demi memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Kasihan juga kan kalau anda nantinya dibuat malu di depan warga sendiri.


Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :

Post a Comment