Terbaru
Loading...

Modernitas; Belajar Dari China

Editorial menarik The New York Times, salah satu harian terbesar di Amerika Serikat, menulis sebuah judul, The Wrong Way To Deal With China. Sebuah ulasan yang sedikit mengeluh dan sumir terkait kebijakan perdagangan AS terhadap Republik Rakyat China (RRC), yang menurut koran terbitan Manhattan itu cenderung merugikan ekonomi nasional AS karena sistem mata uang RRC yang membuat harga-harga produknya menjadi sangat kompetitif dan murah di pasar AS.
Yang menarik di sini, pada beberapa dasawarsa sebelumnya, justru AS dan Eropa sebagai penguasa ekonomi dunia memandang sebelah mata terhadap RRC yang dalam pandangan Barat adalah negara yang tertutup, sentralistik, dan anti demokrasi. Dalam waktu yang singkat, sejak AS dan sekutunya menancapkan tentakel gurita ekonominya, justru RRC muncul sebagai kekuatan penyeimbang dari kawasan Asia dan kini secara mengejutkan, seolah AS kini kalah, dan tak pelak RRC muncul sebagai kekuatan ekonomi utama dunia, mengonfirmasi gejala yang telah ditunjukkan selama 5 tahun terakhir.

Dua penulis besar dunia, Martin Jacques dan pasangan Naisbit, begitu takjub menguber pesona RRC sebagai satu kekuatan ekonomi dunia sekarang ini.  Martin Jacques dalam buku When China Rules The World, dan Naisbit dengan judul China’s  Megatrends adalah dua dari sekian banyak buku yang telah ditulis setahun terakhir secara coincident linear dengan rontoknya kekuatan ekonomi dunia, Amerika Serikat dan Eropa. Sebuah keadaan yang jungkir balik dari tesis mainstream barat tentang asumsi kemenangan negara-negara liberal demokratis terbuka era pasar bebas.  Apakah dunia semakin sulit diprediksi atau para pakar yang keliru melihat fenomena global dengan peradabanya yang terus bergerak?

Tak kurang dari Hunttington, hingga Fukuyama mengalami "keliruan" terhadap sebuah bangun gagasan yang tergelincir atas kondisi faktual perdaban yang terus berevolusi mencari kebenaran paripurna dan hakiki. Kecuali Derida yang selayaknya bertepuk dada atas kenyataan kelangsungan penyelenggaraan peradaban dalam satu keniscayaan dialektis meski akselerasinya ikut menentukan tatanan organis masyarakatnya.
Semisal tarik menarik Barat danTimur, sosialisme dan kapitalisme, Islam dan Eropa, tidak akan
berhenti pada titik sebuah tesis baru sebagai suatu kebenaran objektif, justru pada gerak linearnya akan bersesuai bahkan membentur dinding "keberadaannya" untuk menguji secara ojektif dan natural eksistensi teori baru.

China Baru
Sebut saja Amerika bukan dikalahkan oleh konflik laten Soviet, bahkan oleh Islam sebagaimana tesis Hunttington merujuk pada kasus 9/11, tapi justru oleh keserakahannya melakukan belanja perang yang tak terkendali hingga menghabiskan paling tidak $3 triliun US. Seperti juga diktaktor Kadafi yang tidak kalah oleh perang terbuka dengan Amerika, tapi justru oleh rakyatnya yang muak dengan pseudo ultra nasionalisme ala Lybia.
Di belahan dunia lain, Eropa yang adem ayem di tengah kenikmatan sebagai kekuatan
besar ekonomi dunia harus tergopoh gopoh menetralisir guncangan ekonomi berturut-turut oleh melanda Yunani, Spanyol, Italia dan Jerman.

Di Asia justru muncul suatu kekuatan ekonomi raksasa yakni RRC. Padahal sebagai negara yang baru didirikan oleh Sun Yat Sen yang menggulingkan monarkhi dinasti Qing, kemudian dibentuk dengan idealisme sosialis Mao Tse Tung, yang selama perang dingin  seharusnya RRC sudah rontok bersama-sama negara sehaluan sebagaimana tesis Francis Fukuyama, the end of history. Atau terpuruk dalam pergaulan global seperti Korut, Kuba, bahkan Rusia. Cina justru terbukti memiliki daya tahan ekonomi sejak perang dunia II, bahkan ketika PBB mengisolasinnya terkait hubungan yang buruk dengan Taiwan. Tak urung, sebuah majalah ekonomi terkemuka, The Economist, menyindir Fukuyama dengan judul editorialnya, The end of the end history, (berakhirnya the end of historynya Fukuyama). Meski, dalam pembelaannya, Fukuyama dalam headline yang diterbitkan Financial Times menulis judul,  "US democracy has little to teach China," dengan cukup diplomatis mengungkap kesalahan AS dan memberi tempat terhadap berkembangnya kekuatan RRC sebagai negara yang mampu mengubah model negara yang sentralistis menjadi model negara yang memberi ruang terhadap pola demokrasi barat dengan gaya khas China.  Sembari memojokkan AS yang telah keliru melakukan belanja militer serta unilateral yang dalam kebijakan ekonomi menganut pola ala Reaganism ia menulis;  If the democratic, market-oriented model is to prevail, Americans need to own up to their own mistakes and misconceptions. Washington’s foreign policy during the past decade was too militarised and unilateral, succeeding only in generating a self-defeating anti-Americanism. In economic policy, Reaganism long outlived its initial successes, producing only budget deficits, thoughtless tax-cutting and inadequate financial regulation.

Dan sayangnya, seakan AS lah yang memberi jalan bagi RRC untuk mengukuhkan kekuasaan ekonominya dan menjadi lahan bagi pertumbuhan pasar produk China yang terbesar di dunia.
Bersama India, RRC belakangan mulai menohok dan memberi warna baru kekuatan ekonomi
dunia. Di Asean, sejumlah negara seperti Malaysia, Thailand, bahkan Indonesia masih bergulat
ketat menyusul para "macan Asia” yang tengah mengukuhkan supremasi ekonomi dunia.  Oleh professor pemasar dunia, Philip Kotler disebut sebagai BRIC (Brasil, Rusia, India, China), sebagai kekuatan baru ekonomi dunia yang tengah bergeliat menancapkan tentakelnya di antero jagad.
Fakta ini seolah menjadi suatu keadaan yang mungkin lepas dari amatan para futuris. Meski Dr. Sam Ratulangie sudah pernah memprediksi seabad sebelumnya mengenai peran Pasifik dalam percaturan dunia. Maka menarik menelisik apa yang dilakukan China sehingga kini santer disebut sebagai the new wold regim.

Emansipasi
Mencermati perkembangan RRC yang telah mengalami evolusi sejarah panjang, sejak dinasti Mancuria, Qing, Ming, hingga gagasan da guo fan atau “di dalam satu kuali besar”nya Mao Tse Tung, dan kemudian beralih dari Deng Xiao Ping, Jiang Ze Min, dan Hu Jin Tao.
Negara ini terus belajar, terus berdialektika, dan terbuka terhadap tantangan zaman.  Lalu membiarkan terjadi persemaian antara paham sosialis, Konfusius, dan kini pasar global, membuat RRC lebih kompetitif dan produktif.

Maois yang lahir dari Marxisme merupakan modal dasar bagi RRC untuk memahami negara tanpa kelas yang mendobrak tembok feodal monarkhi. Bahwa, dalam masa itu terjadi kesalahan-kesalahan yang ikut membuat RRC menjadi negara totaliter Mao dengan korban yang tak sedikit, tetap RRC bisa membangun sebuah negara yang kuat utuh dalam suatu teritorial yang terbilang besar di benua Asia. Ide sosialisme memang cocok dengan model cultural masyarakat RRC yang mengutamakan kebersamaan dibanding dengan pola individualistis barat.

Sejak, Deng Xiao Ping menyampaikan pidato tentang emansipasi pemikiran tahun 1978, RRC memang banyak berubah. Sikap negara yang teguh memegang prinsip sosialisme Mao, tapi memberikan porsi seluasnya untuk perubahan “emansipasi” dengan prinsip; “mencari kebenaran dari fakta-fakta,” adalah sebuah sikap positif dan agresif untuk melakukan perubahan dengan mencermati kesalahan-kesalahan masa lalu, dan belajar untuk perbaikan demi masa depan yang lebih baik.
Kita mungkin mendesah dengan peristiwa Tiananmen, dan beberapa kengerian RRC terhadap Taiwan, Tibet dan sejumlah perilaku totaliter yang ditunjukkan oleh militer RRC selama ini, di balik itu, RRC melakukan perobahan besar, yakni;  pertama, mereka melakukan telaah ilmiah yang kritis terhadap pemikiran Mao Zedong tentang pertarungan kelas dan memodifikasinya dengan tidak menghilangkan tradisi kuno China yang berdasarkan pada nilai-nilai Konfusius. Kedua, melakukan emansipasi pikiran, membuka cakrawala berpikir masyarakatnya untuk melihat ke luar terhadap gejala-gejala dan perubahan global. Ketiga, mengimplementasikan gagasan baru pada elemen internal negara seperti fokus kerja partai yang bukan saja mengurusi politik tetapi berkonsentrasi pada pembangunan negara.

Korupsi
Bukan hanya soal cara sikap China memandang tatanan dunia dengan mengadopsi sistem pasar dalam model ekonomi sosialis negaranya, tapi juga bagaimana RRC mengantisipasi penyalagunaan kewenangan dan kecenderungan perilaku korup seperti yang terjadi di kebanyakan negara berkembang.  Ketika dilantik menjadi perdana menteri pada 1998, Zhu Rongji dengan lantang mengatakan, ''Berikan kepada saya seratus peti mati, sembilan puluh sembilan untuk koruptor, satu untuk saya jika saya melakukan hal yang sama.''

Alhasil, sudah ratusan data resmi, meski Amnesti Internasional memperkirakan sudah ribuan orang yang dihukum mati karena kasus korupsi sejak pidato Zhu yang fenomenal itu. Sementara dampaknya adalah kemajuan yang sangat pesat, RRC mencapai pertumbuhan ekonomi rata-rata, 9 persen per tahun dengan nilai pendapatan domestik bruto sebesar 1.000 dolar AS.  Cadangan devisa RRC kembali mencetak rekor cadangan devisa, hingga akhir Juni 2011, RRC tercatat memiliki cadangan devisa hampir US$ 3,2 triliun, atau sekitar Rp 28.777 triliun. Angka tersebut berarti melonjak tajam jika dibandingkan cadangan devisa RRC per akhir Maret lalu yang mencapai US$ 3,0447 triliun. Sebuah angka yang kini satu-satunya di dunia dengan kemajuan yang sangat signifikan.  Sukses Cina itu, menurut guru besar Universitas Peking, Prof Kong Yuanzhi, karena Zhu serius memberantas korupsi.

Pendidikan dan Kebudayaan
Dari hal-hal yang fenomenal itu, ternyata ada yang lebih mendasar yang telah dilakukan oleh RRC untuk bisa menjadi terdepan dalam peradaban dunia. Hal mendasar itu adalah, Pertama Pendidikan. Sejak 1979, lebih dari 1 juta orang China telah belajar di lebih dari 100 negara di dunia, sebaliknya karena pendidikannya yang makin maju, paling tidak sudah lebih dari 1 juta mahasiswa dari sekitar 188 negara di dunia datang belajar di 544 universitas di RRC.  Yang terakhir ada sekitar 40 juta orang China telah belajar di seluruh dunia di berbagai jurusan dan jenjang pendidikan.  Kini para pelajar, sarjana, dan doktor dari berbagai bidang keilmuan tengah mengabdikan ilmu mereka di berbagai industry di RRC. Prinsip mereka adalah, untuk masalah ketepatan, belajarlah dari Jerman. Untuk urusan kegigihan, belajarlah dari Korea, sementara untuk keunggulan mereka belajar dari Jepang, dan pada akhirnya pemasaran guru mereka adalah Amerika. Dari penggabungan itu, RRC berhasil menciptakan model kerja yang unggul, produktif, efisien, serta murah yang kini menjadi daya ungkit utama produk-produk RRC.

Kedua, budaya. Sejarah budaya, China boleh dibilang yang paling teguh memegang prinsip-prinsip tradisi, seni dan kebudayaan turun temurun. Apalagi RRC dikenal sebagai negara yang monoculture dengan didominasi oleh mayoritas etnis Han yang menerapkan nilai-nilai Konfusius dan Taoisme secara konsisten dalam karakter budayanya. Di tengah modernitas yang mewarnai masyarakat China, seni tradisi dan bahkan bahasanya menjadi tren baru malah menjadi bagian dari pola modern masyarakatnya. Beberapa seni lukis, arsitektur, ornament-ornamen dan pola-pola China tak jarang ditemui bahkan di negara-negara “asing” justru menjadi tren baru peradaban modern sekarang ini. Seperti juga bahasa Mandarin yang belakangan menjadi bahasa terbesar yang digunakan di dunia bersama dengan bahasa Inggris.

Data Dazhong Daily mencatat sejak tahun 2007, Dazhong salah satu kota di RRC memiliki 170 centra budaya  sebuah tempat yang dilengkapi oleh perpustakaan, ruang budaya, tempat pentas seni dan kesusasteraan, di mana sekitar 5000 pertunujukan serta pameran digelar setiap tahunnya di setiap centra-centra budaya. Sementara di kota Kunming propinsi Yunnan, tengah diproyeksikan untuk menjadi hollywoodnya China yang bakal menjadi trendsetter budaya global melalui film, televisi, media, pendidikan, dan sebagainya. Di beberapa kota di RRC justru berlomba-lomba menjadi kota budaya sebagai keniscayaan dari sebuah peradaban yang maju. Terbalik dengan Indonesia yang makin mengikis budayanya karena modernitas.

Intelektualitas
Kemajuan RRC juga tidak lepas dari strategi awal Deng tentang emansipasi dan “membiarkan bunga mekar” sebagai mentafora dari kemajuan gagasan dan perkembangan pemikiran masyarakat RRC yang terus berkembang.  Sejak tahun 1991 satu, sudah sekitar 100.000an judul buku yang diterbitkan setiap tahun oleh penerbit-penerbit RRC. Angka yang cukup tinggi dibandingkan Amerika yang hanya menerbitkan 48.146 judul. Di China, terdapat pula sebanyak 500 tempat penerbitan, semuan milik negara. Pemerintah mengelola 16.000 toko buku di kota-kota, di daerah-daerah, dan 12.000 di kios-kios kantor pos dan pusat-pusat budaya. Selain itu, juga ada 28.000 toko buku perorangan. Per tahun mendatangkan uang delapan miliar Yuan (US $ 1.3 miliar). Impor buku dari sekitar 100 negara, per tahunnya US $ 50 juta.
Sejarah intelektualitas China memang sudah berkembang sejak masa dinasti Zhou Timur (770 – 256 SM), tepatnya pada masa musim semi dan musim gugur.  Masa ini dikenal dengan munculnya banyak pemikiran bak musim semi dengan bungan yang mulai bermekaran, begitu pun juga gugurnya sejumlah pemikiran-pemikiran seperti pada musim gugur.  Kelak, ungkapan ini menjadi populer oleh Deng Xiaoping dengan kalimat, “seratus bunga bermekaran seratus pemikiran bermunculan.” Pada masanya, muncul nama-nama besar seperti Kong Zi (Konfusianisme), Lao Zi (Dao), Mo Zi (Mohisme), Han Feizi (Legalisme), Mao Tze Tung,  hingga Sun Tzu dan masih banyak lagi.
Dewasa ini, China terus bergeliat mengembangkan ilmu pengetahuannya. Sejak perjalanan misi antariksanya berhasil, China seolah-olah makin yakin akan kemajuan negaranya, memasuki tahapan baru bagi sejarah China dalam jajaran negara-negara penguasa dunia (world regim).  

Belajarlah dari China
Tak salah ungkapan lama, “belajarlah ilmu hingga ke negeri China.” Bahwa suatu negara pernah dan boleh mengalami masa kelam dalam perjalanan sejarahnya, tapi belajar dari kesalahan masa lalu dan bangkit lagi mengejar hari esok adalah hal yang utama dan penting untuk memperbaiki nasib suatu bangsa.
Tak ada salahnya, Indonesia belajar dari China. Baik dari sisi pemberantasan korupsi, managemen efisiensi produksi, pendidikan dan kebudayaan, penguasaan teknologi, serta cara menikmati modernitas yang produktif bukan konsumerisme seperti pola elit bangsa yang mabuk kekuasaan seperti yang tengah dipertontonkan di panggung politik negeri ini. (Penulis Veldy Umbas/ Editor Alfa Leo)



Share on Google Plus
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments :

Post a Comment