Apa urgensinya membicarakan Minahasa (etnis Minahasa) yang kini makin gamang dan barangkali budayanya berada pada ambang kepunahan. Belum lagi melihat fakta empirik tou Minahasa yang kini melekat sejumlah label, stiqma dan merek yang kurang sedap, minor dan malah menyakitkan. Tapi mengapa masih ada segelintir orang Minahasa yang gelisah, resah, dan merintih menyaksikan keadaan Minahasa yang dalam perspektif mereka perlu disadarkan, diberdayakan, dikembangkan untuk menjadi sebuah komunitas masyarakat yang lebih baik. Mereka dalam keyakinannya itu, tidak henti berdiskusi, menggelar pertemuan kecil, berdebat, menulis, dan semua aktivitas berbau keminahasaan terus digelontorkan, walaupun gagasan-gagasan itu mendapat tantangan atau hambatan. Bagi mereka, tuduhan primordial, etnosentrik bukanlah aib yang harus ditanggapi secara emosional, tetapi ketidakmengertian yang harus dijelaskan sejelas-jelasnya dan seluas-luasnya. Justru, sifat inklusif, fleksibilitas dalam menerima kehadiran orang asing di tanah Minahasa menjadi pemandangan biasa dan mafum di tanah Toar-Lumimuut.
Di pusat gerakan adat dan budaya Minahasa, yakni di mana kantor Majelis Adat Minahasa berada, di ruang tamunya terdapat sebuah chart yang nampak sengaja dipajang bertuliskan Minahasa adalah bangsa yang terdiri dari berbagai-bagai etnis, termasuk para pendatang yang diterima tanpa syarakat di tanah Minahasa. Ini serta merta membantah tuduhan primordial, apalagi tuduhan makar, hanya karena kelompok ini terobsesi untuk membebaskan komunitas Minahasa dari balutan penjajahan sentralistik, deterministik dan marjinalisasi etnik yang ditunjukkan melalui sikap kaum kebanyakan, agama kebanyakan dan dominasi etnis dari satu wilayah teritorial tertentu.
Tulisan ini bukan dibuat untuk membela atau menentang faksi-faksi tertentu di Minahasa yang memiliki perspektif tertentu dalam membangun Minahasa. Tapi justru, tulisan ini terinspirasi atas kenyataan objektif tou Minahasa sekaligus berharap dapat menginspirasi tou Minahasa untuk menjawab tantangan-tantangan yang ada sebagai sebuah inward looking bahkanpun autocritic dari Tou Minahasa sendiri untuk kemudian berupaya mengkonstruk sebuah perpektif baru tentang Minahasa yang semestinya.
Apakah Minahasa sebuah bangsa?
Telah banyak penelitian yang dilakukan para peneliti yang menegaskan bahwa Minahasa memang memenuhi syarat sebagai sebuah bangsa. Beberapa peneliti seperti, David Henley yang mencoba mengurai bahwa Minahasa memenuhi syarat sebagai sebuah bangsa yang dilihat dari keturunan Toar Lumimuut, dengan kesamaan bahasa oleh paling tidak 4 bahasa besar, dalam satu kesatuan teritorial, tanah Minahasa, maka paling tidak syarat ini cukup untuk menyebutnya sebuah masyarakat yang utuh (Henley;1996). Meski itupun tergantung pada parameter apa dan sudut pandang mana hal itu ditempatkan. Menurut literatur wajib Prof. Hans Kohn, nasionalisme adalah prinsip-prinsip berkarakter dari sebuah perasaan orang-orang dalam masyarakat yang berdasarkan pada kesamaan tata cara kebiasaan, bahasa dan agama. Nasionalisme seperti ini berakar pada sejarah (Kohn, 1958:7). Secara etimologis bangsa atau nasion berarti bahwa , natio adalah bahasa lain nation. Ia berakar pada kata nascor yang memiliki arti 'saya lahir'. Di jaman kekaisaran Romawi, kata natio dipakai untuk mengolok-olok orang asing. Kemudian, pada masa Abad Pertengahan, kata nation digunakan sebagai nama kelompok pelajar asing di universitas-universitas. Lalu, pada masa Revolusi Perancis, Parlemen Revolusi Prancis menyebut diri mereka sebagai assemblee nationale (Dewan Nasional) yang menunjuk kepada semua kelas yang memiliki hak sama dalam berpolitik. Akhirnya, kata nation menjadi seperti sekarang yang merujuk pada bangsa atau kelompok manusia yang menjadi penduduk resmi suatu negara (Amir, 2004).
Apakah definisi ini sudah cukup untuk mengkategori Minahasa sebagai sebuah bangsa? Dan pada dan untuk kepentingan apa?
Dalam situasi Minahasa sebagai komunitas budaya jelas, ia adalah sebuah bangsa. Argumentasi Clifford Geertz, bahwa manusia secara umum dilengkapi sebuah kekuatan yang melimpah sebagai pemberian yang bersifat memiliki persamaan seperti ikatan darah, bahasa, teritorial dan perbedaan kebudayaan. Bahkan lebih jauh, menurut Geerts, etnisitas bukan saja soal primordial itu sendiri, tapi juga perasaan sebagai manusia yang melekat dalam pengalaman mereka di dunia ini. Ini agak berbeda dengan pandangan seorang Ben Anderson (1993), yang menulis tentang imagined communities. Atau masyarakat bayangan atau juga nasionalisme bayangan. Anderson mengartikan bahwa nasionalisme lahir bukan atas dasar ras, agama, atau daerah, melainkan karena dibayangkan atau dipersepsikan sedemikian rupa dalam konteks bernegara. Pendekatan Anderson ini sedikit memberi jejak untuk menelusuri nasionalisme Indonesia yang nasionalismenya baru berawal, di antaranya, pada kelahiran organisasi yang bernama Budi Oetomo yang menjadi acuan gerakan nasionalisme Indonesia.
Dalam perspektif Geertz, Minahasa merupakan sebuah entitas sosial karena memang memenuhi syarat-syarat untuk itu. Tetapi dalam konteks negara bangsa (nation state) Anderson cukup kuat memberikan argumentasi untuk mengatakan bahwa memang Indonesia itu terdiri dari bangsa-bangsa dengan masing-masing karakteristik—bahasa, tradisi, teritorial, dan darah/keturunan, bergabung menjadi satu nation building lalu yang didirikan secara bersama-sama (holding) menjadi sebuah negara yang bernama, Indonesia. Pengalaman nasionalisme di tiap negara memang tidak sama. Etno nasionalism yang berwujud negara sebagai entitas politik dalam prakteknya justru cenderung menjadi despot, anarkis dan absolut. Nasionalisme seperti ini coba dipraktekan oleh Nimrod, Julius Caesar, Jenghiz Khan, Napoleon, Lenin, Hitler, Musolleni, hingga Hayam Wuruk. Seperti teori blut und boden dari Haushofer yang menginspirasi Sukarno sehingga hendak mengakupasi Malaysia degan propaganda ganyang Malaysianya. Inipun telah dikritik oleh Moh. Hatta yang melihat nasionalisme persatuan lebih produktif dan kampatible dengan Indonesia, makanya Hatta menjadi seorang federalis yang konsisten untuk Indonesia. DR. Mohammad Hatta mengatakan, “kita juga akan menyusun per-satu-an, sebab itu kita menolak per-sate-an, sehingga menjadi peletak dasar inspirator utama gagasan Republik Indonesia iyang berbentuk federal khas Indonesia abad ke-21. (Daulat Rakyat, No. 22;1932)
Dan karena itu, Benni Matindas penulis buku Negara Sebenarnya (2005), menghujat habis-habisan nasionalisme yang membuahkan chauvinisme. Bahkan teori Renan tentang senasib sepenanggungan yang banyak menjadi rujukan nasionalisme Indonesia juga menurutnya masih becacat, karena tidak dapat menjelaskan posisi kesenjangan antar kelas dalam struktur feodalisme. Memang, nasionalisme Indonesia muncul atas kebutuhan melawan kolonial yang itupun lahir atas etnic nasionalism seperti perang Aceh, perang Tondano, perang Patimura, Perang Sudirman, dan sejumlah perang-perang lokal walaupun dapat dikatakan semuanya itu gagal membentuk pan nasionalisme. Gaung nasionalisme nanti berkembang setelah semangat nasionalisme daerah yang diartikulasikan kedalam spirit pergerakan melalui organisasi-organisasi rakyat, baik yang bergerak di bidang pendidikan sosial budaya, maupun sebagai organisasi politik: seperti Sarekat Islam (1911), Muhammadiyah (1912), Indische Partijn(1912), Putri Mardika (1912), Paguyuban Pasundan (1913), Jong Java (1915), Jong Sumatra (1917), Jong Minahasa, Jong Ambon, dan Jong Celebes (1918), Indonesische Vereneging/Perhimpunan Indonesia (1908/1922/1924), PNI
(1927), NU (1926), Istri Sedar (1930), Putri Budi Sejati, Pasundan Isteri (1930), Partindo (1931), Gerindo (1937), (Pringgodigdo, 1994). Sekali lagi ini menegaskan bahwa, nasionalisme Indonesia bersifat ad hoc untuk satu common enemy, yakni kolonialisme. Dan itu bukan pengingkaran. Minahasa konsisten menjadi peserta “koalisi besar” yang di kemudian hari oleh tokoh Minahasa, Sam Ratulangie menamakannya; Indonesia Raya.
Tidak ada yang salah hingga, Permesta mewarnai relasi Minahasa dengan Indonesia sebagai catatan sejarah kelam. Apapun motivasinya, faktanya setelah Permesta, Minahasa kerap dianggap sebagai yang perlu “diwaspadai” berbeda dengan Aceh dan Papua yang diposisikan sebagai yang harus “dirangkul” kedalam ibu pertiwi—dan untuk itu pemerintah pusat rela melakukan berbagai kompromi hingga ke jatah DAU & DAK yang minta ampun besarnya. Dengan demikian, situasi ini membenarkan bahwa di ruang unitarian state, etno nasionalism menjadi tidak bermakna positif untuk pengembangan negara maupun komunitas (bangsa) Minahasa itu sendiri. Padahal merujuk pada social capital Fukuyama, etno nasionalism dalam konteks sosial bukan politik, merupakan energi potensial yang besar untuk pembesaran daya kreasi untuk bertarung di globe (dunia) yang mengglobal. Lalu kenapa, gagasan federal harus menjadi haram di negara yang multikultur, multi bangsa, dan multi agama seperti Indonesia.
Kukis Balapis
Kalau ini adalah kondisi objektif Minahasa, maka harus ada affirmative action, untuk meresolved situasi staqnan Minahasa yang terjepit di antara sekian banyak problematika Minahasa. Apalagi tantangan Minahasa bukan hanya soal politik dan kebudayaan, tetapi juga masalah ekonomi. Tesis Fukuyama, Ohmae, hingga Thomas Friedman tentang neo kapitalisme dan neo liberalisme yang menggurita juga menjadi tantangan utama Tou Minahasa. Karena itu, sebagai suatu etno nasionalism, dan sebagai masyarakat dalam sistem kenegaraan, Minahasa bagaimana pun tidak bisa tidak, bagi Minahasa untuk membenahi diri, mempersiapkan diri, bahkanpun mendekonstruksi untuk sebuah bangun Minahasa baru. Artinya, Minahasa kini bukanlah Minahasa yang final (state of being). Tetapi apapun tesisnya, dalam konteks Minahasalogi sekalipun, dia akan berdialektika, sebagai suatu on going process. Dan ini menjawab kenapa kawan-kawan di Tomohon (Dr. Supit dkk) terus menerus gelisah, sama seperti kawan-kawan si berbagai penjuru dunia.
Beban generasi kita bukanlah soal bagaimana beromantis atau tidaknya Minahasa dengan masa lalu. Tapi, bagaimana pengalaman masa lalu menjadi pelajaran bagi Minahasa. Bukan malah menjadi ahisotris dan apalagi menjadi amnesia budaya, sosial dan politik. Di sinilah keunikan Minahasa. Setiap jaman ia melahirkan strategi budayanya untuk menyikapi masanya. Itulah Minahasa yang saya metaforakan sebagai “kukis balapis.” Minahasa senantiasa membentuk layer-layer di setiap periode waktu tertentu. Eksponen Malesung sudah menjadi takdir bagi Minahasa hari ini dengan tugas-tugas kulturalnya dalam mewariskan semangat diaspora pada deklarasi Pinabetengan. Kolonialisme yang hadir di Minahasa berubah seiring Verbond 10 Januari 1699 yang ditandatangani oleh Robert Padtbrugge di pihak kolonial dan Padat, Supit dan Pedro Rantu mewakili para walak di Fort Amsterdam, Manado, hingga ke prasasti 250 tahun setelah itu, yakni pada 10 Januari 1929 di mana Minahasa disebut-sebut sebagai propinsi ke XII (the twelve profince). Menjelang kebangkitan nasional, Minahasa ketika itu juga menciptakan layernya sendiri. Ratulangi, Maramis, Palar, dsb merupakah tokoh-tokoh bangsa Minahasa yang dengan tradisi mapalusnya, berkoalisi membentuk dan mendirikan Indonesia sebagai sebuah saham bersama. Di era kemerdekaan, Minahasa pula memiliki ceritanya sendiri ketika para Kawilarang, Sumual, Warouw, Sombah, dkk melihat bahwa Minahasa perlu menegaskan posisinya terhadap Indonesia melalui perjuangan fisik seperti yang telah terjadi yakni PERMESTA.
Di era, Orde Baru, Minahasa benar-benar tenggelam. Bayangkan Mbak Tutut diberikan gelar adat Minahasa, di lain pihak tokoh-tokoh gereja rame-rame mendukung Golkar sebagai partai penguasa. Semuanya agar mengembalikan posisi Minahasa yang seolah-olah bukan lagi shareholder, tetapi malah menjadi broker. Betapapun, Minahasa ketika itu telah menciptakan layernya sendiri. Dan tetap saja, Minahasa terus berproses, di era reformasi, di era otonomi, di era berubahnya Minahasa menjadi surga bagi trafficking, di era gereja-gereja yang kini kian materialisik dan pramatis, di era di mana para anak muda lebih bangga pada budaya non Minahasa, tetapi juga era di mana ada sedikit kebanggaan manakalah SULUT (baca: Minahasa Raya) dengan sedikit bersiasat menggelar pertemuan tingkat dunia sekaliber world ocean conference, kemudian seberapa infrastruktur buru-buru disulam supaya nampak cantik.
Seorang intelektual UPH, Audy Wuisan mengatakan bahwa, persoalan yang kita dihadapi sekarang adalah, bagaimana mengantisipasi gejolak dunia dan secara simultan menuntaskan persoalan persoalan ekonomi dan politik internal. Secara internal, Indonesia sebetulnya masih belum sanggup mengkonsolidasikan demokrasi, meski lembaga-lembaga demokrasi secara prosedural sudah tersedia. Untuk menjawab itu, maka layer apa lagi yang sedang dan akan kita lakukan? Apakah menjadi apositive, passivism, dan apalagi telah berpandangan eksentrik nasrcis radikal ala Ubermenschnya Friedrich Nietzsche. Atau kita sedikit berempati dan termotivasi lagi untuk bersama-sama memberi diri dan membangun Minahasa ke arah yang lebih baik dengan menyiapkan strategi-strategi ekonomi, budaya, dan politik. Semuanya itu akan menjadi irisan-irisan sejarah yang nanti akan dibaca oleh gerenasi mendatang bahwa, ada irisan penting yang pernah dilakukan oleh kaumnya (etnisitas), untuk anak cucunya. (Penulis Veldy Umbas/Editor Alfa Leo)
kalo kukis pisang dang ? hihihihiii
ReplyDelete